Kamis, 03 November 2011

MEMBANGUN DAN MENGEMBANGKAN ETIKA BISNIS DALAM PERUSAHAAN


Di Indonesia tampaknya masalah penerapan etika perusahaan yang lebih intensif masih belum dilakukan dan digerakan secara nyata. Pada umumnya baru sampai tahap pernyataan-pernyaaatn atau sekedar “lips-service” belaka. Karena memang enforcement dari pemerintah pun belum tampak secara jelas.

Sesungguhnya Indonesia harus lebih awal menggerakan penerapan etika bisnis secara intensif terutama setelah tragedi krisis ekonomi tahun 1998. Sayangnya bangsa ini mudah lupa dan mudah pula memberikan maaf kepada suatu kesalahan yang menyebabkan bencana nasional sehingga penyebab krisis tidak diselesaikan secara tuntas dan tidak berdasarkan suatu pola yang mendasar. Sesungguhnya penyebab utama krisis ini, dari sisi korporasi, adalah tidak berfungsinya praktek etika bisnis secara benar, konsisten dan konsekwen. Demikian pula penyebab terjadinya kasus Pertamina tahun (1975), Bank Duta (1990) adalah serupa.

Praktek penerapan etika bisnis yang paling sering kita jumpai pada umunya diwujudkan dalam bentuk buku saku “code of conducts” atau kode etik dimasing-masing perusahaan. Hal ini barulah merupakan tahap awal dari praktek etika bisnis yakni mengkodifikasi-kan nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis bersama-sama corporate-culture atau budaya perusahaan, kedalam suatu bentuk pernyataan tertulis dari perusahaan untuk dilakukan dan tidak dilakukan oleh manajemen dan karyawan dalam melakukan kegiatan bisnis.

Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai dengan hukum yang berlaku (legal) tidak tergantung pada kedudukani individu ataupun perusahaan di masyarakat.

Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan “grey-area” yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.

Menurut Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988) yang berjudul Managerial Ethics Hard Decisions on Soft Criteria, membedakan antara ethics, morality dan law sebagai berikut :

· • Ethics is defined as the consensually accepted standards of behavior for an occupation, trade and profession

· • Morality is the precepts of personal behavior based on religious or philosophical grounds

· • Law refers to formal codes that permit or forbid certain behaviors and may or may not enforce ethics or morality.

Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika kita :

  1. Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensi nya. Oleh karena itu dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
  2. Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuan nya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
  3. Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.

Dari pengelompokan tersebut Cavanagh (1990) memberikan cara menjawab permasalahan etika dengan merangkum dalam 3 bentuk pertanyaan sederhana yakni :

· Utility : Does it optimize the satisfactions of all stakeholders ?

· Rights : Does it respect the rights of the individuals involved ?

· Justice : Is it consistent with the canons oif justice ?


Mengapa etika bisnis dalam perusahaan terasa sangat penting saat ini? Karena untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen.
Contoh kasus Enron yang selain menhancurkan dirinya telah pula menghancurkan Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen yang memiliki reputasi internasional, dan telah dibangun lebih dari 80 tahun, menunjukan bahwa penyebab utamanya adalah praktek etika perusahaan tidak dilaksanakan dengan baik dan tentunya karena lemahnya kepemimpinan para pengelolanya. Dari pengalaman berbagai kegagalan tersebut, kita harus makin waspada dan tidak terpana oleh cahaya dan kilatan suatu perusahaan hanya semata-mata dari penampilan saja, karena berkilat belum tentu emas.

Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika perusahaan akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang karena :

· • Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.

· • Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja.

· • Akan melindungi prinsip kebebasan ber-niaga

· • Akan meningkatkan keunggulan bersaing.


Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yany tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan.
Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara :

· • Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct)

· • Memperkuat sistem pengawasan

· • Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.

Ketentuan tersebut seharusnya diwajibkan untuk dilaksanakan, minimal oleh para pemegang saham, sebagaimana dilakukan oleh perusahaan yang tercatat di NYSE ( antara lain PT. TELKOM dan PT. INDOSAT) dimana diwajibkan untuk membuat berbagai peraturan perusahaan yang sangat ketat sesuai dengan ketentuan dari Sarbannes Oxley yang diterbitkan dengan maksud untuk mencegah terulangnya kasus Enron dan Worldcom.
Kesemuanya itu adalah dari segi korporasi, bagaimana penerapan untuk individu dalam korporasi tersebut ? Anjuran dari filosuf Immanual Kant yang dikenal dengan Golden Rule bisa sebagai jawabannya, yakni :

· • Treat others as you would like them to treat you

· • An action is morally wrong for a person if that person uses others, merely as means for advancing his own interests.


Apakah untuk masa depan etika perusahaan ini masih diperlukan ? Bennis, Spreitzer dan Cummings (2001) menjawab “ Young leaders place great value on ethics. Ethical behavior was identified as a key characteristic of the leader of the future and was thought to be sorely lacking in current leaders.”
Dan kasus Enron pun merupakan pukulan berat bagi sekolah-sekolah bisnis karena ternyata etika belum masuk dalam kurikulum misalnya di Harvard Business School. Sebelumnya mahasiswa hanya beranggapan bahwa “ethics as being about not getting caught rather than how to do the right thing in the first place”.

ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIOAL


INTRODUCTION

Di dua bab sebelumnya telah dijelaskan beberapa perbedaan dalam masyarakat dalam hal ekonomi, politik, hukum dan kebudayaan. Kita juga merencanakan dari beberapa masalah tersebut untuk berlatih bisnis inernasional. Bab ini terfkus pada masalah etika yang berkembang ketika perusahaan melakkan aktivitas bisnis di Negara – Negara yang berbeda. Banyak masalah etika yang berkembang karena perbedaan perkembangan di bidang kemajun ekonomi, politik, system hukum dan kebudayaan. Kata etika disini mengacu pada asas yang diterima baik benar atau salah yang menguasai tingkah laku seseorang, anggota dari pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan organisasi. Etika bisnis adalah asas yang diterima baik benar atau salah yang menguasai tingkah laku seorang pengusaha, dan etika strategi adalah strategi atau jalan dari suatu kegiatan yang tidak melaggar asas – asas yang berlaku.

Dalam masyarakat kita dan yang lain, banyak asas etika yang disusun menjadi sebuah hukum atau undang – undang. Seperti larangan untuk membunuh, mencuri, berzinah tetapi diantaranya banyak yang tidak sesuai, seperti asas yang seharusnya seorang pengarang tidak menjiplak pekerjaan orang lain. Selama tidak meniru tiap kata penjiplakan secara teknis tidak melanggar hak cipta tetapi hal tersebut sabgat tidak pantas dilakukan. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, penuh dengan contoh dari para peneliti bahwa ide mereka telah dicuri oleh teman yang tidak teliti untuk keuntungan sendiri sebelum penemu ide mempunyai peluang untuk mematenkan dan menerbitkan ide mereka sendiri. Meskipun kelakuan ini tidak melanggar hokum tapi jelas sangat tidak etis.

Kasus pembuka diatas menggambarkan masalah ini. Nike tidak melanggar hukum ketika pemborong bawahan mereka di Asia Tenggara menyediakan pekerjaan dalam keadaan yang buruk, tapi banyak yang berpendapat bahwa perlakuan itu sangat todak pantas dilakukan. Nike tidak ragu untuk membuat keputusan kepada para pemborong agar menekan biaya dengan cara apapun dengan tujuan keuntungan jangka panjang perusahaan. Pada kenyataanya, masalah etika tidak masuk dalam hitungan pembuatan keputusan suatu perusahaan. Seperti para manajer pada kebanyakan perusahaan, apa yang menjadi alas an Nike adalah tanggung jawab pemborong bawahan yang mengikuti hokum local dan para manajer Nike dengan naïf mempercayai bahwa undang – undang tersebut menjamin keamanan para pekerja. Padahal, struktur hokum di banyak Negara berkembang tidak sempurna dan lemah dibandingkan dengan struktur hokum yang ada di Negara maju. Kadang hokum local berisikan tidak cukup panduan keamanan bagi para pekerja dan meskipun ada kadang hokum itu tidak dilakukan secara efektif. Mengacu pada hal ini, hal yang benar dan tepat yang dapat dilakukan Nike adalah ketika Nike memutuskan kepada pemborong di Negara berkembang untuk menentukan kode etik yang mengandung pedoman yang menghormati keadaan kerja yang harus ditemukan oleh pemborong. Nike melakukan hal ini, dan untuk mendukung hal in, Nike memperkerjakan beberapa pengaudit bebas untuk memastikan agar pemborong melaksanakan pedoman yang diberikan. Tetapi, sebelum Nike bereaksi, telah terjadi protes bertahun – tahun mengenai hal ini. Hal ini tentunya merusak reputasi Nike, dimana reputasi adalah asset tidak telihat yang paling penting bag perusahaan. Beberapa berpendapat, Nike harus memberitahukan bahwa mamasukkan masalah etika dalam pengambilan keputusan adalah penting. Secara mendasar, ini adalah hal yang benar untuk dilakukan!

Bab ini melihat bagaimana etika bisnis bisa digabungkan dengan pembuatan keputusan dalam bisnis internasional. Kita memulai dengan melihat Sumber Daya dan alam dari masalah etika dan dilemma dalam bisnis internasional. Kemudian kita melihat kembal alas an dar ietika yang buruk dalam pengambilan keputusan dalam bisnis internasional. Kemudian kita membicarakan prinsip yang berbeda yang dekat dengan etika bisnis. Kita menutup bab ini dengan melihat kembali proses berbeda yang dapat dilakukan manajer yang dapat dilakukan sebagai pertimbangan dalam memasukkan pembuatan keputusan dalam bisnis internasional suatu perusahaan.

Persoalan etika dalam bisnis internasional

Banyak persoalan etika dan dilemma dalam bisnis internasional yang berakar pada system politik, hukum, kemajuan ekonomi, dan budaya yang sangat berbeda antar Negara. Akibatnya, apa yang dianggap abik di satu Negara belum tentu dianggap baik di Negara lain. Karena manajer bekerja untuk institusi yang melebihi batas Negara dan budaya, maka manager dari perusahaan multinasional harus peka terhadap perbedaan dan harus memlih kegiatan etika dalam berbagai keadaan karena berpotensi menimbulakan masalah dalam etika. Dalam tatanan bisnis internasional, hal yang paling umum adalah kebiasaan pekerja, hak asasi manusia, peraturan lingkungan, korupsi, dan kewajiban moral dari perusahaan multinasional.

Kebiasaan para pekerja

Dalam kasus pembuka, masalah etika dihubungkan dengan kebiasaan pekerja di Negara lain. Ketika kondisi kerja di Negara tempat investasi lebih rendah dari kondisi kerja dari tempat asal perusahaan multinasional tersebut,standart apa yang harus dipilih? Apa dari Negara asal, Negara tempat investasi atau diantaranya? Ketika tiap Negara dianggap sama, maka berapakah perbedaan yang dapat diterima? Seperti, bekerja 12 jam sehari, gaji rendah dan gagal ,melindungi pekerja dari bahan berbahaya mungkin umum dilakukan di beberapa Negara berkembang, tap apakah hal ini berarti bak bagi perusahaan multinasional untuk menerima keadaan kerja tersebut atau memaafkan melalui pemborong?

Seperti kasus Nike, pendapat yang kuat dapat menjadi kebiasaan yang tidak tepat. Tapi tetap meninggalkan pertanyaan, apakah standart yang harus digunakan? Kita hars kembali dan menyadari kasus ini di bab selanjutnya. Untuk sekarang, mengumumkan standart minimal keamanan dan martabat pekerja dan memakai jasa audit adalah cara yang terbaik untuk mengatasi maslah ini. Seperti yang dilakukan perusahaan Levi Strauss yang pada tahun 1990an memutuskan kontrak dengan penyuplai terbesar, The Tan Family. Karena The Tan memperkerjakan perempuan cina dan Filipina 74 jam per minggu di halaman tertutup di Pulau Mariana.

Hak Asasi Manusia

Hak asasi dasar manusia di beberapa Negara masih belum dihargai. Seperti diantaranya, kebebasan berorganisasi, kebebasan berbicara, kebebasan berpolitik, dan sebagainya. Contoh yang apling nyata adalah yang terjadi di Afrika Selatan. Yaitu politik pembedaan warna kulit (apartheid) yang terjadi sampai tahun 1994. Apartheid adalah pemisahan kulit putih dengan kulit hitam yang menyediakan pekerjaan bagi kulit putih dan melarang kulit hitam bekerja pada usaha yang dikelola kulit putih. Meskipun menggunakan sistem seperti ini, banyak pengusaha barat beroperasi di Afrika Selatan. Tahun 1980, banyak yang menanyakan kebijakan ini. Mereka berpendapat, investasi mereka menikkan status ekonomi dan dapat menekan rezim yang berkuasa.

Beberapa perusahaan barat mengubah kebijakan mereka, diantaranya General Motors (GM). GM menggunakan prinsip Sullivan, yaitu seorang anggota jajaran kepengurusan GM. Sullivan berpendapat bahwa GM dapat beroperasi di Afrika Selatan dengan dua syarat, yaitu perusahaan tidak boleh melakukan hukum apartheid dan dengan kekuatan yang dimiliki, perusahaan harus berusaha melakukan usaha untuk penghapusan politik apartheid. Hukum Sullivan ini digunakan oleh semua perusahaan barat yang beroperasi di Afrika Selatan. Perlawanan ini diabaikan oleh pemerintah Afrika Selatan karena mereka tidak mau melawan para investor.

10 tahun kemudian, Sullivan mengatakan bahwa teorinya tidak cukup untuk menghapus politik apartheid. Dan beberapa perusahaan yang menjalankan hukum ini tidak bisa meneruskan usaha mereka di Afrika Selatan. Diantaranya Exxon, GM, Kodak, IBM dan Xerox. Pada saat bersamaan, dana pension mengatakan tidak mau bekerjasama dengan perusahaan yang menjalankan usaha di Afrika Selatan. Tekanan ini dan akibat sanksi ekonomi yang diberikan AS, berjasa atas penghapusan politik apartheid dan memperkenalkan Pemilihan Umum pada 1994. Hal ini dinilai meningkatkan hak asasi manusia di afrika selatan.

Meslkpun perubahan terjadi di Afrika Selatan, masih ada beberapa rezim yang masih berjalan di dunia ini. Apakah pantas melakukan usaha di Negara seperti ini? Banyak yang berkata, bahwa investasi bisa menekan kebijakan ekonomi, politik, dan social yang membuat rakyat melawan kepada rezim. Hal ini telah dijelaskan di bab 2 dimana kemajuan ekonomi bisa menekan untuk demokrasi. Secara umum, perusahaan multinasional yang berinvestasi di Negara yang kurang demokratis bisa meningkatkan HAM di Negara tersebut. Seperti di China, meskipun dikenal kurang demokrasi dan sering dipertanyakannya HAM disana, ternyata investasi bisa meningkatkan kondisi ekonomi dan meningkatkan standart kehidupan. Kemajuan ini secara tidak langsung menekan rakyat Cina agar lebih berani berpartisipasi dalam pemerintahan, politik dan kebebasan berbicara.

Tapi pendapat ini masih terbatas. Seperti kasus di Afrika Selatan, beberapa rezim tidak setuju bahwa investasi bisa mendukung perbaikan etika. Contoh lain adalah Myanmar (Burma). Dikuasai rezim militer lebih dari 40 tahun, Myanmar adalah salah satu pelaggar HAM paling berat. Tahun 1990an banyak perusahaan Barat dituduh melampaui batas etika yang sangat keras. Beberapa pengejek verpendapat bahwa Myanmar adaah Negara dengan ekonomi kecil, sehingga hukuman tidak mampu membuat begitu bereaksi, seperti apa yang ada di Cina.

Nigeria adalah Negara lain yang perlu dipertanyakan, ketka investasi membuat pelanggaran terhadap HAM. Yang paling terkenal adalah Royal Dutch Shell, perusahaan minyak terbesar di negeri itu yang sering diprotes. Tahun 1990an beberapa suku memprotes karena Royal Dutch Shell menyebabkan polusi dan gagal memberi kompensasi. Shell dilaporkan meminta bantuan Brigade Mobil Nigeria untuk mengakhiri protes para demonstran. Hasilnya menjadi berdarah. Di desa Umuechem, pasukan membunuh 80 demonstran dan menghancurkan 495 rumah. Tahun 1993, protes di bagian Ogoni karena masalah pipa milik Shell dan pasukan diminta lagi menghentikan protes. Hasilnya, 27 desa rusak, 80000 kehilangan tempat tinggal dan 2000 terbunuh.

Kritik bermunculan dan Shell disalahkan sebagai pemicu pembantaian. Shell tidak menggubris hal ini dan pasukan menjadikan alasan demonstrsi sebagai cara untuk membunuh kelompok yang selama beberapa lama berseberangan dengan pemerintah. Hal ini merubah kebijakan Shell dengan membuat mekanisme dari dalam untuk membuat acuan agar tidak bertentangan dengan HAM.

Polusi Lingkungan

Masalah etika muncul ketika peraturan lingkungan di negara investasi lebih rendah dibandingkan dari negara asal investor. Banyak negara maju yang mengatur tentang peraturan dasar tentang pembuangan gas emisi, pembuangan bahan berbahaya, penggunaan bahan beracun dan sebagainya. Peraturan ini kadang kurang diperhatikan di negara berkembang dan menurut laporan,hasil polusi industri tersebut bisa sampai ke tiap rumah. Contohnya adalah yang terjadi di Nigeria. Pada laporan tahun 1992 oleh pemerhati lingkungan isinya:

Industri minyak telah menyebabkan polusi udara baik siang maupun malam, menghasilkan gas beracun yang secara diam – diam dan secara sistematis mengganggu biota air dan membahayakan hidup dari tanaman, permainan dan manusia itu sendiri, kita telah polusi air secara meluas dan polusi tanah yang menyebabkan kematian terhadap hewan air, dan ikan dan di sisi lain lahan pertanian terkontaminasi dan tanah menjadi berbahaya untuk ditanami, meskipun mereka meneruskan menggunakannya.

Contoh diatas menunjukkan bahwa kontrol terhadap polusi di Nigeria kurang dibandingkan dengan di negara maju.

Haruskah perusahaan multinasional merasa tidak bersalah telah membuat polusi di negara lain? Apakah bermoral ketika suatu perusahaan memutuskan berprodusksi di negara berkembang karena kontrol terhadap polusi tidak diperlukan dan perusahaan bebas merusak lingkungan dan mungkin membahayakan penduduk lokal demi menekan biaya produksi dan mendapatkan keuntungan sebesar – besarnya? Apakah hal yang benar dan tindakan moral seperti apakah yang harus digunakan menghadapi keadaan seperti itu? Membuat polusi demi keuntungan ekonomi atau mengikuti peraturan yang melekat tentang standart pengaturan polusi?

Pertanyaan ini menjadi penting karena sebagian besar dari lingkungan adalah milik umum tanpa ada pemilik tetapi semua orang bisa merampasnya. Tidak ada seorangpun yang memiliki udara dan lautan tapi merusak keduanya tidak peduli dimana tempatnya merugikan semuanya. Lautan dan udara adalah barang yang semua orang membutuhkan tapi tidak ada seorangpun yang bertanggung jawab. Dalam beberapa kasus fenomena yang dikenal sebagai tragedi yang sering menjadi diterima dan biasa. Tragedi terjadi ketika sumberdaya digunakan oleh semua orang dan digunakan berlebihan sehingga mengalami kerusakan. Kata fenomena pertama digunakan oleh Garrett Hardin yang menjelaskan masalah pada abad 16 di Inggris. Daerah terbuka yang umum bagi semua digunakan sebagai padang untuk menggembala ternak. Orang miskin menggunakan padang rumput ini dan ternyata menambah penghasilan mereka. Sangat menguntungkan ketika terus menambah jumlah ternak, tetapi masalah sosial yang dihadapi jauh dari keuntungan yang didapatkan dari beternak. Hasilnya menghabiskan rumput, merusak padang rumput dan menghabiskan kandungan alam yang ada.

Dalam masyarakat modern, perusahaan bisa berperan membuat tragedi global dengan cara memindahkan usaha ke tempat yang bisa dengan bebas membuang limbah ke udara atau ke laut dan sungai dan dapat merusak hal yang berharga di alam ini. Mungkin hak ini tidak melanggar hukum, tapi apakah pantas dilakukan? Sekali lagi, diperlukan respon sosial terhadap etika yang berlaku.

Korupsi

Seperti yang tertulis pada bab 2, korupsi menjadi masalah utama di hampir semua sejarah manusia dan terus berlanjut sampai sekarang. Korupsi ada dan akan selalu ada dalam pemerintahan. Bisnis internasional mendapatkan keuntungan dengan membayar pemerintahan yang seperti ini. Contoh klasik adalah kejadian pada tahun 1970an. Carl Kotchian, presiden dari Lockheed membayar $12,5 juta kepada agen Jepang dan pemerintah untuk memuluskan pesanan besar untuk Lockheed Tristar dari Nippon Air. Ketika hal ini diketahui, pejabat dari AS menuduh Lockheed membuat laporan palsu dan menggelapkan pajak. Meskipun pembayaran ini di Jepang diterima dari bagian bisnis, hal ini menjadi skandal dan kasus yang besar. Pejabat pemerintah dianggap melanggar hukum, satu anggota bunuh diri, pemerintahan bermasalah dan masyarakat Jepang marah. Ternyata pembayaran seperti ini tidak diterima oleh masyarakat Jepang. Hal ini dianggap tidak berbeda dengan uang suap yang dibayarkan kepada pejabat untuk melancarkan pesanan raksasa seperti Boeing. Kotchian berlaku sangat tidak pantas dan berpendapat bahwa pembayaran tersebut sah. Dan ternyata hal itu sama sekali salah!

Kasus Lockheed mendorong Foreign Corrupt Practices Art pada tahun 1977 tang telah dijelaskan di bab 2. ini berisikan tentang memberikan uang suap terhadap pejabat negara lain untuk melancarkan bisnis. Beberapa perusahaan AS menganggap ini adalah kerugian dalam bersaing. Dan hal ini dianggap sebagai pembayaran perantara. Sebagaian mengetahui sebagai uang cepat dan hal ini dilakukan untukmengamankan kontrak yang belum aman atau membayar untuk mendapatkan perlakuan istimewa dari pemerintah setempat tetapi tidak mendapatkan hak tersebut di negara lain.

Tahun 1997, anggota dari Organization for Economic Cooperation and Development ( OECD ) membuat AS menggunakan Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions. Pertemuan yang diadakan pada 1999 menyuruh anggota agar memasukkan penyuapan sebagai tindakan kriminal. Pertemuan ini juga memperantarai pembayaran antara perusahaan dan pemerintahan secara rutin. Agar menjadi efektif, hukum ini harus diadopsi ke hukum lokal di setiap negara dan sampai sekarang sedang diusahakan.

Ketika menyalurkan pembayaran, masalah etika masih menjadi hal yang gelap. Di banyak negara, pembayaran terhadap pejabat pemerintah sudah menjadi bagian hidup sehari – hari. Baberapa berpendapat tidak berinvestasi karena tidak mau membayar suap mengacuhkan bahwa investasi bisa meningkatkan standart ekonomi dengan menambah pendapatan dan menambah lapangan kerja. Dari hal tersebut, memberi suap meskipun salah mungkin adalah hal yang harus dibayar untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Beberapa langkah ekonomi ini dinilai dapat menembus regulasi tidak praktis pada negara berkembang sehingga dapat membantu korupsi untuk tumbuh! Teori ekonomi ini membuat beberapa negara merubah batas mekanisme pasar, korupsi dalam pasar gelap, penyelundupan dan pembayaran rahasia pada para birokrat untuk mempercepat usaha sehingga menambah kesejahteraan. Pendapat seperti ini digunakan untuk membujuk kongres AS untuk menerima pembayaran dari Foreign Corrupt Prctices Act.

Sebaliknya, pakar ekonomi lain mengatakan bahwa korupsi mengurangi pendapatan dari investasi bisnis dan membuat pertumbuahn ekonomi rendah. Di negara dimana korupsi menjadi hal biasa, birokrat yang tidak produktif yang menginginkan pembayaran lain untuk memberi izin mengalihkan keuntungan bisnis. Pengurangan keuntungan ini memperlambat tingkat pertumbuhan ekonomi. Penelitian terhadap lebih dari 70 negara menunjukkan bahwa korupsi mempunyai dampak negatif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di suatu negara.

Debat dan rumitnya masakah ini tetap berlangsung dan sekali lagi kita dapat memutuskan memberi suap adalah hal yang tidak pantas dilakukan. Benar, bahwa korupsi adalah tidak baik dan menggangu perekonomian suatu negara tapi pada kasus tertentu dibutuhkan pembayaran terhadap pemerintah agar menghapuskan halangan untuk menciptakan lapangan kerja baru. Bagaimanapun, suap membuat korusi semakin buruk dan buruk. Korupsi kembali pada diri masing – masing dan memulai untik tidak korupsi adalah hal yang tidak mustahil meskipun sulit. Pendapat ini memperkuat masalah etika agar jangan mendekati korupsi apapun keuntungan yang didapat dari korupsi.

Banyak perusahaan multinasional yang setuju dengan kalimat ini, seperti contohnya perusahaan minyak BP yang tidak memberi toleransi sedikitpun terhadap pelaku korupsi.

Kewajiban moral

Perusahaan multinasional mempunyai kekuatan untuk mengatur sumber daya dan kemampuan mereka untuk memindahkan produksi dari satu negara ke negara lain. Kekuasaan tersebut tidak hanya dibatasi oleh hukum dan peraturan tapi juga oleh kedisiplinan dari pasar dan proses yang bersaing juga penting. Beberapa berkata bahwa kekuasaan yang berakar pada tanggung jawab sosial bisa memberikan suatu komunitas hasil yang baik dan kemajuan. Konsep awal dari tanggung jawab sosial adalah sebuah ide yang dimiliki pengusaha yang harus mempertimbangkan konsekuensi sosial ketika membuat keputusan bisnis dan harus membuat anggaran untuk menentukan agar tercipta ekonomi yang baik dan konsekuensi sosial yang baik. Tanggung jawab sosial mudah dilakukan karena suatu cara yang baik untuk emlakukan sebuah bisnis. Beberapa berpendapat bahwa bisnis, umumnya bisnis besar harus menyadari kewajiban kebangsawanan mereka dan harus memberi imbal balik pada masyarakat yang membuat mereka menjadi sukses. Kewajiban kebangsawanan berasal dari bahasa perancis yang artinya kehormatan dan murah hati yang dimiliki oleh seorang bangsawan. Dalam dunia bisnis, menjadi murah hati adalah sebuah tangung jawab menjadi usahawan yang sukses. Hal ini telah lama disadari oleh pengusaha dan hal ini dapat menjadikan menaikkan kesejahteraan dari komunitas dimana mereka menjalankan usaha.

Bagaimanapun juga, masih ada beberapa perusahaan yang menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi. Cerita sejarah yang paling terkenal adalah the British East India Company. Didiriakn pada tahun 1600, the East India Company menjadi kekuatan yang dominan di India pada abad ke 19. besarnya kekuasaan dapat dilihat dari mereka mempunyai 40 kapal perang, memiliki pasukan tentara terbesar di dunia dan secara de facto menguasai 240 juta penduduk dan memiliki uskup tersendiri untuk menunjukkan dominasi mereka dalam dunia kegamaan.

Kekuasaan adlah hal yang normal. Tergantung kekuatan tersebut digunakan untuk apa. Bisa digunakan untuk hal yang baik untuk meningkatkan kesejahteraan yang pantas dilakukan atau bisa digunakan untuk mengerjai yang bertingkah tidak pantas. Seperti dalam kasus News Corporation yang merupakan salah satu kerajaan media terbesar di dunia yang terdapat dalam Mamajemen Focus. Kekuasaan yang mereka peroleh, mereka dapat dengan cara membangun persepsi publik dengan cara memilih berita – berita yang mereka tayangkan. Pendiri News Corporation dan CEO Rupert Murdoch telah lama menyadari bahwa China akan menjadi salah satu pasar yang menjajikan dalam pasar media dan tanpa izin mereka memperluas jaringan News Corporation di China yang menggunakan satelit Star TV. Beberapa yang tidak setuju mengatakan bahwa Murdoch menggunakan cara yang tidak pantas untuk menyelesaikan tujuan ini.

Beberapa perusahaan multinasional telah menyadari kewajiban moral ini yaitu menggunakan kekuasaan mereka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. BP, salah satu perusahaan minyak terbesar dunia, telah membuat keputusan untuk melakukan investasi sosial di negara mereka melakukan usaha. Di Algeria, BP melaksanakan proyek gas di tengah gurun Salah.ketika perusahaan mengetahui bahwa dai Salah kekurangan air, perusahaan membangun 2 pipa air untuk menyediakan minum dan menyediakan air agar dapat dibawa pulang oleh penduduk Salah. Tidak adal alasan ekonomi untuk melakukan hal ini, tapi perusahaan percaya bahwa mereka memiliki tanggung jawab moral untuk membangun masyarakat. Meskipun hal ini kecil bagi BP, tapi merupakan hal yang penting bagi penduduk lokal.

Dilemma Etika

Kewajiban etika dari perusahaan multinasional terhadap kondisi tenaga kerja, HAM, korupsi, pencemaran lingkungan, dan penggunaan energi tidak terlalu jelas. Disini kemungkinannya adalah tidak adanya kompromi atau pembicaraan lebih lanjut tentang pemahaman terhadap etika tersebut. Dari pandangan bisnis internasional, terdapat perdebatan apakah etika tergantung pada satu pandangan budaya. Di USA, eksekusi hukuman dapat diterima, tapi pada budaya lain ini tidak ditrima-eksekusi hukuman mati dipandang sebagai suatu hinaan terhadap harga diri manusia dan hukuman mati tidak dibenarkan. Banyak orang Amerika memandang bahwa cara berpikir seperti itu aneh, tapi orang-orang Eropa memandang orang Amerika kejam. Terhadap orientasi bisnis misalnya, praktek ”gift giving” antara pihak-pihak terhadap negosiasi bisnis. Ketika praktek ini betul-betul dipertimbangkan sebagai tindakan yang benar dan pantas di budaya Asia, beberapa orang barat memandang praktek ini sebagai bentuk suap, dan oleh karena itu dianggap tidak beretika, terutama apabila pemberian tersebut merupakan sesuatu yang penting.

Manager harus dihadapkan pada kenyataan etika dilema. Contohnya, bayangkan apabila eksekutif Amerika berkunjung dan melihat cabang perusahaannya yang bertempat di negara miskin mengupah gadis berusia 12 tahun untuk bekerja di perusahaannya. Hal ini cukup mengejutkan melihat bahwa cabang perusahaannya menggunakan tenaga kerja anak-anak telah melanggar kode etika yang dimiliki oleh perusahaan tersebut, orang amerika tersebut menginstruksikan kepada manager local untuk mengganti anak-anak dengan orang dewasa. Manager local mematuhi perintah tersebut. Gadis yatim piatu tersebut yang bekerja untk mencari sesuap nasi untuk dia dan adiknyayang baru berumur 6 tahun, sudah tidak mendapat pekerjan lain, da dia putus asa sampai pada akhirnya dia bekerja di bidang prostitusi. Dua tahun kemudian dia meninggal karena penyakit AIDS. Akhirnya adiknya menjadi pengemis. Si adik bertemu dengan orang Amerika tersebut ketika ia mengemis di luar Mc. Donald’s. Sebenarnya keadaan ini merupakan tanggung jawabnya yang dia lupakan., anak laki-laki itu mengemis pada orang Amerika tersebut. Dan orang Amerika itu mempercepat langkahnya dan berjalan lebih cepat dan masuk ke Mc. Donald’s dimana dia memesan empat buah chesseburger, kentang goreng, milkshake. Satu tahun kemudian anak laki-laki itu terserang TBC dan akhirnya meninggal.

Setelah berkunjung orang Amerika tersebut sedikit memahami keadaan gadis itu,. Haruskah dia tetap menwarkan penggantian tersebut? mungkin tidak! Seharusnya ini lebih baik, oleh karena, dia memberikan status quo dan mengajak gadis itu kembali bekerja lagi? Tentu saja tidak, karena hal tersebut seharusnya melanggar dan terlarang dengan beberapa alasan melawan kode etika pada perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja anak-anak. Lalu apa yang seharusnya dilakukan? Apa kewajiban dari eksekutif terhadap dilemma ini?

Pertanyaan tersebut tidak mudah untuk dijawab. Hal tersebut merupakan kemurnian dari etika dilemmas-merupakan situasi yang tidak ada alternatifnya seperti penerimaan terhadap etika sendiri. Pada kasus ini, tenaga kerja anak-anak tidak dapat diterima, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa gadis itu adalah pekerja, dan tidak dapat dipungkiri juga bahwa diahanya mencari sumber pendapatan. Apa yang diinginkan eksekutif Amerika, apa yang diinginkan manager, adalah arah moral, atau mungkin pemecahan masalah etika, yang dapat menjadi panduan bagi manager untuk mencari solusi etika dilemma. Nanti pada chapter ini kita akan menjelaskan garis besar apa yang dimaksud arah moral, atau pemecahan masalah etika, yang keduanya serupa. Untuk saat ini, sudah cukup dimengerti bahwa etika dilemma tetap terjadi karena tetap menjadi hal yang rumit di dunia, sulit untuk digambarkan, dan menyebabkan konsekwensi pertama, kedua, dan ketiga sulit untuk diukur. Melakukan hal yang benar, atau mengetahui hal yang mungkin benar, seringkali sulit untuk dilakukan.

Akar dari tindakan yang tidak beretika

Banyak manger berlaku seperti tidak beretika di bidang bisnis internasional. Kelompok investor Amerika mulai tertarik untuk memulihkan SS United States, yang yang dulunya adalah kapal mewah. Langkah pertama untuk memulihkannya adalah penarikan asbestos kapal. Asbestos adalah material racun yang diproduksi dari abu murni yang pabila dihirup dapat menyebabkan efek yang berakibat kerusakan paru-paru, kanker, dan kematian. Atas dasar itu, pemerintah di negara-negara tersebut menekan standar pengembangan perubahan asbestos. Beberapa perusahaan U.S, dengan standar yabg ditetapkan di Amerika, mengupah pekerjanya lebih dari $100 milion. Perusahaan di Ukraina menawarkan untuk melakukan pekerjaan tersebut dengan upah $2 milion, jadi kapal-kapal tersebut ditarik ke pelabuhan Ukraina di Sevastopol. Dengan persetujuan upah $2 milion, ini menunjukkan bahwa perusahaan Ukraina tidak dapat mengadopsi standar seperti di Amerika. Sebagai konsekwensinya, pekerjanya memiliki resiko yang signifikan dalam menghasilkan asbestos-penyebar penyakit. Apabila pada kasus ini, keinginan untuk menghemat biaya dapat diartika oleh investor Amerika sebagai tindakan yang tidak beretika, dengan sepengetahuan mereka mncari keuntungan bagi perusahaan dengan tidak melindungi pekerjanya terhadap resiko kesehatan.

Kenapa manager melakukan tindakan yang tidak beretika? Tidak ada jawawan yang simpel untuk menjawab pertanyaan tersebut, karena penyebab yang rumit, tapi sedikit pernyataan dapat dibuat (lihat gambar 4.1). pertama, etika bisnis tidak dapat dipisahkan dari etika personal, yang secara umum dapat diterima panduannya tentang prinsip salah dan benar bagi individu. Sebagai individu, kita secara tipikal tahu bahwa berbohong, dan mencuri adalah salah-hal ini tidak beretika-dan tahu tindakan yang benar adalh yang jujur dan terhormat, dan tetap teguh pada apa yang kita percaya untuk menjadi baik dan benar. Hal ini pada umumnya benar di mata masyarakat. Kode etika seseorang yang berdampingan dengan kepribadian kita berasal dari beberapa sumber, yang terdiri dari keluarga kita, sekolah kita, kepercayaan kita, dan media. Kode etika personal kita mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap tindakan kita sebagai pelaku bisnis. Seorang individu yang punya kepekaan kuat terhadap etika adalah orang yang jarang sekali bertindak tidak beretika pada bidang bisnis. Ini merupakan langkah pertama untuk membuktikan bahwa kepekaan yang tinggi terhadap etika bisnis bagi masyarakat menegaskan kekuatan dari personal ethics.

Manager suatu perusahaan yang bekerja ke luar negeri di perusahaan multinasional (manager ekspatriat) mungkin memiliki pengalaman luar biasa tentang tekanan terhadap pelanggaran personal ethics. Mereka keluar dari kebiasaan sosial dan budaya yang mendukungknya, yang secara psikologi dan geografi jauh dari perusahaan induk. Mereka mungkin merasakan perbedaan budaya di setiap tempat yang berbeda nilainya pada norma etika yang dianggap penting di perusahaan induk, dan mereka mungkin mengalah dengan pekerja lokal yang memiliki standar etika yang keras. Perusahaan induk mungkin mendesak manager ekspatriat untuk mencapai cita-cita yang kurang relistis yang hanya dapat dicapai dengan mengambil jalan tengah atau berpura-pura tidak beretika. Contohnya, untuk memenuhi mandat penting tentang pencapaian tujuan, manager ekspatriat mungkin memberi suap untuk memenangkan kontrak atau mungkin melakukan pengamatan kondisi dan kontrol lingkungan yang minimal dapat diterima. Manager lokal mungkin menganjurkan ekspatriat untuk mengadaptasi tindakannya. Oleh karena jarak geografis, perusahaan induk mungkin tidak dapat untuk mengamati bagaimana manager ekspatriat memenuhi tujuannya, atau mungkin memilih untuk tidak mengamati bagaimana mereka melakukannya, dengan mengijinkan tindakan untuk berjalan baik dan tetap dilakukan.

Juga, banyak penelitian tentang tindakan yang tidak beretika pada bidang bisnis telah menyimpulkan bahwa pelaku bisnis kadangkala tidak menyadari tindakan mereka yang tidak beretika, utamanya karena kesalahan pengucapan. Apakah ini suatu keputusan atau tindakan etika? Malah, mereka mereka menggunakan perhitungan bisnis untuk membuat keputusan bisnis, untuk mendapatkan keputusan tersebut mungkin juga membutuhkan ukuran etika. Kesalahan pada prosesnya bisa terjadi apabila tidak menggabungkan pertimbangan etika untuk membuat keputusan bisnis. Hal ini dapat ditunjukkan pada kasus Nike ketika manager memutuskan membuat subkontrak (lihat kasus pembukaan). Keputusan tersebut mungkin saja dipilah karena pertimbangan dasar pada bisnis variamel seperti biaya, pengiriman, dan kualitas produk, dan manager kunci salah mengucapakan, bagaimana subkontraktor memperlakukan tenaga kerjanya? Apabila mereka mempertanyakan pertanyaan tersebut, mereka kemungkinan beralasan bahwa itu adalah urusan subkontraktor, bukan mereka. (contoh lainnya pada pengambilan keputusan bisnis yang mungkin tidak beretika, lihalah Management Focus yang menuliskan keputusan Pfizer’s untuk mencoba eksperimen obatnya kepada anak-anak yang menderita meningitis di Nigeria.

Sayangnya suasana di beberapa tidak mendorong seseorang untuk berpikir sampai konsekwensi etika terhadap keputusan bisnis. Ini menunjukkan pada kita 3 penyebab tindakan yang tidak beretika pada bisnis-budaya organisasi yang mengabaikan etika bisnis, mengurangi keputusan pada kegiatan ekonomi yang bersih. Istilah budaya organisai berhubungan dengan nilai dan norma yang merupakan bagian diantara pekerja pada organisasi. Kamu akan kembali memgingat dari chapter 3bahwa nilai adalah ide abstrak apa yang dipercaya suatu kelompok untuk menjadi lebih baik, benar, dan sangat diperlukan, sedangkan norma adalah kebiasaan sosial dan petunjuk yang menentukan tindakan yang tepat pada situasi penting. Hanya sebagai masyarakat yang berbudaya, yang dapat melakukan aktivitas bisnis. Secara bersamaan, nilai dan norma membentuk budaya pada organisasi bisnis, dan budaya tersebut memiliki pengaruh penting pada etika untuk mengambil keputusan bisnis.

Penulis Robert Bryce telah menjelaskan tentang keadaan budaya orgaisasi saat ini-kebangkrutan yang dialami perusahaan energi multinasional Enron terjadi akibat ketamakan dan penipuan. Menurut Bryce, hal tersebut dibuat oleh top manager yang mengambil keputusan sendiri untuk memperkaya dirinya sendiri dan keluarganya. Bryce menunjukkan bagaiman ex-CEO Kenneth Lay membuat keyakinan keuntungan keluarganya kebanyakan dari Enron. Banyak perusahaan bisnis travel Enron dijalankan oleh travel agency yang dimiliki adik Lay. Ketika internal auditor merkomendasikan bahwa perusahaan itu dapat melakukan hal yang lebih baik apabila menggunakan travel agency lain, dia segera mengundurkan diri dari perusahaannya. Pada tahun 1997, Enron memperoleh sebuah perusahaan yang dijalankan oleh anak dari Kenneth Lay, Mark Lay, yang mecoba mengembangkan usahanya pada bisnis perdagangan bubur kayu dan kertas. Saat itu, Mark Lay dan perusahaan lainnya yang dia kontrol menjadi target investigasi kriminal penipuan, dan penggelapan.

Sebagai bagian ddari keputusannya, Enron mengangkat Mark Lay sebagai eksekutif dengan kontrak 3 tahun dengan jaminan $1 milin yang dibayar setiap eriode, plus pilihan untuk menjual 20.000 lembar saham Enron. Bryce juga mendetailkan anak laki-lakinya yang sudah dewasa menggunakan jet Enron untuk mengirimkan bed ukuran besar ke prancis. Deengan Kenneth Lay sebagai contohnya, ini mungkin bukan hal mengejutkan lagi bahwa keegoisan suatu saat akan mendatangkan kehancuran pada Enron. Catatan paling penting adalah contoh pada Kepala Keuangan Andrew Fastrow yang membuat ”off balance sheet” yang bekerja sama bukan hanya menyembunyikan kondisi financial perusahaan Enron dari investor , tapi juga membayar membayar miliar dollar ke Fastrow. (fastrow kemudian terbukti melakukan tindakan kriminal penipuan dan dihukum penjara.)

Penyebab keempat dari tindakan yang beretika sudah ditunjukkan pada-ini ditekankan oleh induk perusahaan untuk melaksanakan memainkan cara yang kuang relistis yang dapat dicapai hanya dengan mengambil jalan tengah atau bertindak seerti tidak beretika. Lagi, Bryce membicarakan bagaimana hal ini kemungkinan dapat terjadi di Enron. Penyukse Lay sebagai CEO, Jeff Skilling, mengambil sistem evaluasi performa di tempat yang memasangkan lebih dari 15% dari underperformer setiap 6 bulan. Ini membuat tekanan-alat budaya pada performa jarak dekat, dan respon beberapa eksekutif dan pedagang energi yang menekan dengan memalsukan nilai dari perdagangan, contohnya-0untuk membuat hal ini terlihat membuat performa yang lebih baik dari yang sebenarnya.

Penjelasan dari kegagalan Enron adalah bahwa budaya organisasi dapat mengesahkan tindakan yang dianggap tidak beretika, pentingnya ketika hal ini digabungkan dengan fokus dari menentukan tujuan dengan tidak beretika, seperti memperbesar jangka pendek dari ekonomi, tidak peduli berapa biayanya. Pada keadaan seperti itu, disana terdapat kemungkinan yang lebih besar dari biasanyabahwa manager akan melanggar etika personalnya sendiri dan menggunakan tindakan yang tidak beretika. Dengan hal yang sama, budaya organisasi dapat melakukan hal yang sebaliknya dari tindakan yang beretika. Pada Hewlett-Packard, misalnya, Bill Hewlett dan David Packard, pendiri perusahaan, memperbanyak jumlah dari nila yan diketehui sebagai The HP Way.

Nilai ini, yang membentuk jalan bisnis adalah memimpin keduanya dan dengan badan hukum, memiliki komponen etika yang penting. Antara hal yang lainnya, mereka menekankan kebutuhan untuk kepercayaan diri dan berkenaan dengan seseorang, membuka komunikasi, dan terfokus pada pekerja individu.

Enron dan Hewlett-Packard contohnya menunjukkan dasar dari penyebab kelima dari kegiatan yang tidak beretika-kepemimpinan. Pemimpin membantu mengembangkan budaya dari organisasi, dan mereka menjadi contoh bagi pengikut lainnya. Pekerja lain pada bidang bisnis seringkali menggunakan petunjuk dari pemimpin mereka, dan apabila pemimpin tersebut tidak memiliki tindakan pada hal etika, mereka mungkin juga tidak. Ini bukan tentang hal yang dikatakan oleh pemimpinnya, tapi apa yang mereka lakukan. Enron contohnya, memiliki kode etika bahwa Kennet Lay seringkali menyerah pada dirinya sendiri, tapi tindakan Lay sendiri adalah untuk memperbanyak jumlah keluarganya di perusahaanya daripada hal lainnya.

Pendekatan Filosofi pada Etika

Kita akan melihat beberapa perbedaan pendekatan pada etika bisnis disini, awalnya dengan beberapa yang sangat penting dijelaskan adalah sebagai straw men, yang baik keduanya mengingkari nilai dari etika bisnis atau mengaplikasi konsep yang sangat tidak memuaskan. Setelah didiskusikan, dan menolak, straw men,kami kemudian menuliskan pendekatan yang menarik bagi filosofis dan dari dasar model tindakan beretika di bidang bisnis

ETIKA BISNIS DALAM ISLAM

Etika Bisnis Dalam Islam

Bab I Pendahuluan

Latar Belakang

Kegagalan yang paling terasa dari modernisasi yang merupakan akibat langsung dari era globalisasi adalah dalam bidang ekonomi. Kapitalisme modern yang walaupun akhirnya mampu membuktikan kelebihannya dari sosialisme, kenyataannya justru melahirkan berbagai persoalan, terutama bagi negara-negara Dunia Ketiga (termasuk negara-negara Muslim) yang cenderung menjadi obyek daripada menjadi subyek kapitalisme.

Dikaitkan dengan kegagalan kapitalisme Barat di negara-negara Muslim tersebut, kesadaran bahwa akar kapitalisme bukanlah dari Islam kemudian membangkitkan keinginan untuk merekonstruksi sistem ekonomi yang dianggap “otentik” berasal dari Islam. Apalagi sejarah memperlihatkan bahwa pemikiran ekonomi, telah pula dilakukan oleh para ulama Islam, bahkan jauh sebelum Adam Smith menulis buku monumentalnya The Wealth of Nations.[1] Di samping itu, Iklim perdagangan yang akrab dengan munculnya Islam, telah menempatkan beberapa tokoh dalam sejarah sebagai pedagang yang berhasil. Keberhasilan tersebut ditunjang oleh kemampuan skill maupun akumulasi modal yang dikembangkan. Dalam pengertiannya yang sangat umum, maka bisa dikatakan bahwa dunia kapitalis sudah begitu akrab dengan ajaran Islam maupun para tokohnya. Kondisi tersebut mendapatkan legitimasi ayat al-Qur’an maupun sunnah dalam mengumpulkan harta dari sebuah usaha secara maksimal.[2]

Dengan banyaknya ayat al-Qur’an dan Hadis yang memberi pengajaran cara bisnis yang benar dan praktek bisnis yang salah bahkan menyangkut hal-hal yang sangat kecil, pada dasarnya kedudukan bisnis dan perdagangan dalam Islam sangat penting. Prinsip-prinsip dasar dalam perdagangan tersebut dijadikan referensi utama dalam pembahasan-pembahasan kegiatan ekonomi lainnya dalam Islam sebagai mana pada mekanisme kontrak dan perjanjian baru yang berkaitan dengan negara non-muslim yang tunduk pada hukum perjanjian barat.[3]

Pada dasarnya etika (nilai-nilai dasar) dalam bisnis berfungsi untuk menolong pebisnis (dalam hal ini pedagang) untuk memecahkan problem-problem (moral) dalam praktek bisnis mereka. Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan sistem ekonomi Islam khususnya dalam upaya revitalisasi perdagangan Islam sebagai jawaban bagi kegagalan sistem ekonomi –baik kapitalisme maupun sosialisme-, menggali nilai-nilai dasar Islam tentang aturan perdagangan (bisnis) dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, merupakan suatu hal yang niscaya untuk dilakukan. Dengan kerangka berpikir demikian, tulisan ini akan mengkaji permasalahan revitalisasi perdagangan Islam, yang akan dikaitkan dengan pengembangan sektor riil.

Bab II Pembahasan Teori

Pengertian Etika Bisnis Dalam Islam

Definisi Etika

Etika itu sendiri merupakan salah satu disiplin pokok dalam filsafat, ia merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar berhasil menjadi sebagai manusia (Franz Magnis-Suseno :1999)

Etika (ethics) yang berasal dari bahasa Yunani ethikos mempunyai beragam arti : petama, sebagai analisis konsep-konsep mengenai apa yang harus, mesti, ugas, aturan-aturan moral, benar, salah, wajib, tanggung jawab dan lain-lain. Kedua, pencairan ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, pencairan kehidupan yang baik secara moral (Tim Penulis Rasda Karya : 1995)

Menurut K. Bertens dalam buku Etika, merumuskan pengertian etika kepada tiga pengertian juga; Pertama, etika digunakan dalam pengertian nilai-niai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika dalam pengertian kumpulan asas atau nilai-nilai moral atau kode etik. Ketiga, etika sebagai ilmu tentang baik dan buruk

Menurut Ahmad Amin memberikan batasan bahwa etika atau akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.

DefinisiBisnis
Kata bisnis dalam Al-Qur’an yaitu al-tijarah dan dalam bahasa arab tijaraha, berawal dari kata dasar t-j-r, tajara, tajran wa tijarata, yang bermakna berdagang atau berniaga. At-tijaratun walmutjar yaitu perdagangan, perniagaan (menurut kamus al-munawwir).

Menurut ar-Raghib al-Asfahani dalam al-mufradat fi gharib al-Qur’an , at-Tijarah bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari keuntungan.

Menurut Ibnu Farabi, yang dikutip ar-Raghib , fulanun tajirun bi kadza, berarti seseorang yang mahir dan cakap yang mengetahui arah dan tujuan yang diupayakan dalam usahanya.

Rabu, 05 Oktober 2011

TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN MORAL PADA ETIKA BISNIS


Kapankah secara moral seseorang bertanggung jawab atau disalahkan, karena melakukan kesalahan? Seseorang secara moral bertanggung jawab atas tindakannya dan efek-efek merugikan yang telah diketahui ;
a. Yang dilakukan atau dilaksanakan seseorang dengan sengaja dan secara bebas
b. Yang gagal dilakukan atau dicegah dan yang secara moral keliru karena orang itu dengan sengaja atau secara bebas gagal melaksanakan atau mencegahnya.

Ada kesepakatan umum, bahwa ada dua kondisi yang sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang karena menyebabkan kerugian ;

  1. Ketidaktahuan
  2. Ketidakmampuan

Keduanya disebut kondisi yang memaafkan karena sepenuhnya memaafkan orang dari tanggung jawab terhadap sesuatu. Jika seseorang tidak mengetahui, atau tidak dapat menghindari apa yang dia lakukan, kemudian orang itu tidak berbuat secara sadar, ia bebas dan tidak dapat dipersalahkan atas tindakannya. Namun, ketidaktahuan dan ketidakmampuan tidak selalu memaafkan seseorang, salah satu pengecualiannya adalah ketika seseorang mungkin secara sengaja, membiarkan dirinya tidak mau mengetahui persoalan tertentu.
Ketidakmampuan bisa jadi merupakan akibat lingkungan internal dan eksternal yang menyebabkan seseorang tidak dapat melakukan sesuatu atau tidak dapat menahan melakukan sesuatu. Seseorang mungkin kekurangan kekuasaan, keahlian, kesempatan atau sumber daya yang mencukupi untuk bertindak. Seseorang mungkin secara fisik terhalang atau tidak dapat bertindak, atau pikiran orang secara psikologis cacat sehingga mencegahnya mengendalikan tindakannya. Ketidakmampuan mengurangi tanggung jawab karena seseorang tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan (atau melarang melakukan) sesuatu yang tidak dapat dia kendalikan. Sejauh lingkungan menyebabkan seseorang tidak dapat mengendalikan tindakannya atau mencegah kerugian tertentu, adalah keliru menyalahkan orang itu.
Sebagai tambahan atas dua kondisi yang memaklumkan itu (ketidaktahuan dan ketidakmampuan), yang sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang karena kesalahan, ada juga beberapa faktor yang memperingan, yang meringankan tanggung jawab moral seseorang yang tergantung pada kejelasan kesalahan. Faktor yang memperingan mencakup :

  • Lingkungan yang mengakibatkan orang tidak pasti, namun tidak juga tidak yakin tentang apa yang sedang dia lakukan ( hal tersebut mempengaruhi pengetahuan seseorang)
  • Lingkungan yang menyulitkan, namun bukan tidak mungkin untuk menghindari melakukannya (hal ini mempengaruhi kebebasan seseorang)
  • Lingkungan yang mengurangi namun tidak sepenuhnya menghilangkan keterlibatan seseorang dalam sebuah tindakan (ini mempengaruhi tingkatan sampai dimana seseorang benar-benar menyebabkan kerugian)

Hal tersebut dapat memperingan tanggung jawab seseorang karena kelakuan yang keliru yang tergantung pada faktor keempat, yaitu keseriusan kesalahan.
Kesimpulan mendasar tentang tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian yang memperingan tanggung jawab moral seseorang yaitu :

  1. Secara moral individu, bertanggung jawab atas tindakan yang salah yang dia lakukan (atau yang secara keliru dia lalaikan) dan atas efek-efek kerugian yang disebabkan (atau yang gagal dia cegah) ketika itu dilakukan dengan bebas dan sadar.
  2. Tanggung jawab moral sepenuhnya dihilangkan (atau dimaafkan) oleh ketidaktahuan dan ketidakmampuan
  3. Tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian diringankan oleh :
  • Ketidak pastian
  • Kesulitan

Bobot keterlibatan yang kecil (meskipun kegagalan tidak memperingan jika seseorang mempunyai tugas khusus untuk mencegah kesalahan), namun cakupan sejauh mana hal-hal tersebut memperingan tanggung jawab moral seseorang kepada (dengan) keseriusan kesalahan atau kerugian. Semakin besar keseriusannya, semakin kecil ketiga factor pertama tadi dapat meringankan.
Para kritikus berdebat, apakah semua faktor yang meringankan itu benar-benar mempengaruhi tanggung jawab seseorang? Beberapa berpendapat bahwa, kejahatan tidak pernah diterima, tidak peduli tekanan apakah yang terjadi pada seseorang. Kritikus lain berpendapat, membiarkan secara pasif suatu kesalahan terjadi, tidak berbeda dengan secara aktif menyebabkan suatu kesalahan terjadi.

A. Tanggung Jawab Perusahaan
Dalam perusahaan modern, tanggung jawab atas tindakan perusahaan sering didistribusikan kepada sejumlah pihak yang bekerja sama. Tindakan perusahaan biasanya terdiri atas tindakan atau kelalaian orang-orang berbeda yang bekerja sama sehingga tindakan atau kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan tindakan perusahaan. Jadi, siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan bersama-sama itu?
Pandangan tradisional berpendapat bahwa mereka yang melakukan secara sadar dan bebas apa yang diperlukan perusahaan, masing-masing secara moral bertanggung jawab.
Lain halnya pendapat para kritikus pandangan tradisional, yang menyatakan bahwa ketika sebuah kelompok terorganisasi seperti perusahaan bertindak bersama-sama, tindakan perusahaan mereka dapat dideskripsikan sebagai tindakan kelompok, dan konsekuensinya tindakan kelompoklah, bukan tindakan individu, yang mengharuskan kelompok bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
Kaum tradisional membantah bahwa, meskipun kita kadang membebankan tindakan kepada kelompok perusahaan, fakta legal tersebut tidak mengubah realitas moral dibalik semua tindakan perusahaan itu. Individu manapun yang bergabung secara sukarela dan bebas dalam tindakan bersama dengan orang lain, yang bermaksud menghasilkan tindakan perusahaan, secara moral akan bertanggung jawab atas tindakan itu.
Namun demikian, karyawan perusahaan besar tidak dapat dikatakan “dengan sengaja dan dengan bebas turut dalam tindakan bersama itu” untuk menghasilkan tindakan perusahaan atau untuk mengejar tujuan perusahaan. Seseorang yang bekerja dalam struktur birokrasi organisasi besar tidak harus bertanggung jawab secara moral atas setiap tindakan perusahaan yang turut dia bantu, seperti seorang sekretaris, juru tulis, atau tukang bersih-bersih di sebuah perusahaan. Faktor ketidaktahuan dan ketidakmampuan yang meringankan dalam organisasi perusahaan birokrasi berskala besar, sepenuhnya akan menghilangkan tanggung jawab moral orang itu.

B. Tanggung Jawab Bawahan
Dalam perusahaan, karyawan sering bertindak berdasarkan perintah atasan mereka.
Perusahaan biasanya memiliki struktur yang lebih tinggi ke beragam agen pada level yang lebih rendah. Jadi, siapakah yang harus bertanggung jawab secara moral ketika seorang atasan memerintahkan bawahannya untuk melakukan tindakan yang mereka ketahui salah.
Orang kadang berpendapat bahwa, ketika seorang bawahan bertindak sesuai dengan perintah atasannya yang sah, dia dibebaskan dari semua tanggung jawab atas tindakan itu.
Hanya atasan yang secara moral bertanggung jawab atas tindakan yang keliru, bahkan jika bawahan adalah agen yang melakukannya. Pendapat tersebut keliru, karena bagaimanapun tanggung jawab moral menuntut seseorang bertindak secara bebas dan sadar, dan tidak relevan bahwa tindakan seseorang yang salah merupakan pilihan secara bebas dan sadar mengikuti perintah. Ada batas-batas kewajiban karyawan untuk mentaati atasannya. Seorang karyawan tidak mempunyai kewajiban untuk mentaati perintah melakukan apapun yang tidak bermoral.
Dengan demikian, ketika seorang atasan memerintahkan seorang karyawan untuk melakukan sebuah tindakan yang mereka ketahui salah, karyawan secara moral bertanggung jawab atas tindakan itu jika dia melakukannya. Atasan juga bertanggung jawab secara moral, karena fakta atasan menggunakan bawahan untuk melaksanakan tindakan yang salah tidak mengubah fakta bahwa atasan melakukannya.

HAL – HAL YANG MENARIK

  1. Dasar Etika adalah MoralApa yang dimaksud dengan etika? Menurut kamus ada banyak arti dari etika diantaranya adalah :
    • Prinsip – prinsip yang digunakan untuk mengatur prilaku individu atau kelompok
    • Pelajaran tentang moral

Definisi Moralitas adalah :
“Aturan-aturan yang dimiliki perorangan atau kelompok tentang apa-apa yang benar dan apa-apa yang salah, atau apa-apa yang baik dan yang jahat.”
Sedangkan yang dimaksud dengan standar moral adalah :
“Norma-norma yang kita miliki tentang jenis-jenis tindakan yang kita percaya secara moral benar atau salah.”

2. Moral Lebih ke Arah Individu
Organisasi perusahaan akan eksis bila :
Ada individu – individu manusia dengan hubungan dan lingkungan tertentu.”
Karena tindakan perusahaan dilakukan oleh pilihan dan tindakan individu-individu di dalamnya. Maka individu-individu tadi yang harus dilihat sebagai penghalang dan pelaksana utama dari tugas moral, tanggung jawab moral perusahaan.
Individu-individu manusia tadi bertanggung jawab pada apa yang dilakukan oleh perusahaan, karena tindakan perusahaan berlangsung karena pilihan-pilihan mereka dan prilaku individu-individu tadi. Sehingga perusahaan mempunyai tugas moral untuk melakukan sesuatu bila anggota perusahaan tersebut mempunyai tanggung jawab moral untuk melakukan sesuatu.

3. Pencapai Tetinggi dari Etika adalah Berorientasi pada Prinsip Etika Universal
Tingkat final, tindakan yang benar dilakukan berdasarkan prinsip moral karena logis, universality dan konsistensi.
Universality artinya suara hati, di dalam istilah ESQ disebut anggukan universal yang mengacu kepada God Spot.

4. Kasus WorldCom dan Enron
4.1 Kasus WorldCom
Di dalam laporan keuangan WorldCom’s, Scott Sulivan memindahkan $ 400 juta dari reserved account ke “income”. Dia juga selama bertahun-tahun melaporkan trilyunan dolar biaya operasi sebagai “capital expenditure”.
Dia bisa melakukan ini dengan bantuan firm accounting dan auditor terkenal “Arthur Andersen”. Padahal Scott Sullivan, pernah mendapat penghargaan sebagai Best CFO oleh CFO Magazine tahun 1998.
4.2 Kasus Enron
Pada terbitan April 2001, majalah Fortune menjuluki Enron sebagai perusahaan paling innovative di Amerika “Most Innovative” dan menduduki peringkat 7 besar perusahaan di Amerika. Enam bulan kemudian (Desember 2001) Enron diumumkan bangkrut.
Kejadian ini dijuluki sebagai “Penipuan accounting terbesar di abad ke 20”. Dua belas ribu karyawan kehilangan pekerjaan. Pemegang saham-saham Enron kehilangan US$ 70 Trilyun dalam sekejap ketika nilai sahamnya turun menjadi nol.
Kejadian ini terjadi dengan memanfaatkan celah di bidang akuntansi. Andrew Fastow, Chief Financial officer bekerjasama dengan akuntan public Arthur Andersen, memanfaatkan celah di bidang akuntansi, yaitu dengan menggunakan “special purpose entity”, karena aturan accounting memperbolehkan perusahaan untuk tidak melaporkan keuangan special purpose entity bila ada pemilik saham independent dengan nilai minimum 3%.
Dengan special purpose entity tadi, kemudian meminjam uang ke bank dengan menggunakan jaminan saham Enron. Uang hasil pinjaman tadi digunakan untuk menghidupi bisnis Enron.
4.3 Bahasan Kasus
Dari kasus WorldCom’s dan Enron diatas, dapat diamati bahwa walaupun sudah ada aturan yang jelas mengatur system accounting, tetapi kalau manusia yang mengatur tadi tidak bermoral dan tidak beretika maka mereka akan memanfaatkan celah yang ada untuk kepentingan mereka.
4.4 Pandangan Velasquez tentang Etika Bisnis di Arab Saudi
Menurut Velasquez, Arab Saudi adalah tempat kelahiran Islam, yang menggunakan landasan Islam Suni sebagai hukum, kebijakan dan system sosialnya. Tetapi di Arab Saudi tidak dikenal “basic right” (keadilan dasar, seperti tidak ada demokrasi, tidak ada kebebasan berbicara, tidak ada kebebasan pers, tidak mengenal peradilan dengan system juri, tidak mengenal kebebasan beragama dan diskriminasi terhadap wanita. Sehingga menurut Velasquez, di Arab Saudi tidak mengenal hak azazi manusia.



BAHASAN
Velasquez menyatakan, Arab Saudi adalah contoh Etika Islam, dengan alasan sederhana karena Islam lahir disana. Tetapi dia lupa bahwa Agama Kristen dan Yahudi juga tidak lahir di Eropa atau di Amerika. Dia mengeneralisir bahwa Arab Saudi adalah Islam.
Padahal Arab Saudi bukan merupakan penggambaran negara Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dalam jaman Rasul dan empat sahabat penerusnya dikenal istilah demokrasi dan kebebasan beragama.

HAL – HAL MENARIK MENJADI BAHAN DISKUSI

  1. Bagaimana pendekatan etika yang harus out-in atau in-out
    • Out- in adalah proses pengawasan dari luar ke dalam, harus ada aturan main atau bisnis proses yang jelas dan transparan sehingga etika bisnis bisa berjalan,

misalnya ada good corporate governance, balance scorecard, atau Malcolm baldrige

  • In- out adalah pendekatan dari sisi individu pelaku bisnis, pelaku dari etika adalah individu dan setiap individu harus menjalankan etika bisnis.
  • Dalam kasus Enron dan WorldCom’s, walaupun sudah ada system yang sangat baik dan well defined is organized, masih saja “oknum” manusia mencari celah diantara aturan main tersebut.
  • Bagaimanakah sebaiknya implementasi etika bisnis yang baik, dengan pendekatan in-out, out-in, atau ambivalent dengan menerapkan keduanya.

2. Apakah etika itu pesan universal horizontal – kewajiban vertical

o Dasar dari etika adalah kajian terhadap moralitas, dan moralitas tadi mengaju kepada individu.

o Sedangkan pencapai tertinggi dari moral adalah Orientasi Prinsip Etis Universal

o Velasquez menyatakan etika itu lebih abstrak daripada “Ten Commandements”

o Apakah etika itu pesan universal horizontal (manusia ke manusia) minus nilai kewajiban vertical (Agama) ?



CONTOH PELANGGARAN ETIKA BISNIS

  • Pelanggaran etika bisnis terhadap hukum

Sebuah perusahaan X karena kondisi perusahaan yang pailit akhirnya memutuskan untuk Melakukan PHK kepada karyawannya. Namun dalam melakukan PHK itu, perusahaan sama sekali tidak memberikan pesongan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam kasus ini perusahaan x dapat dikatakan melanggar prinsip kepatuhan terhadap hukum.

  • Pelanggaran etika bisnis terhadap transparansi

Sebuah Yayasan X menyelenggarakan pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran baru sekolah mengenakan biaya sebesar Rp 500.000,- kepada setiap siswa baru. Pungutan sekolah ini sama sekali tidak diinformasikan kepada mereka saat akan mendaftar, sehingga setelah diterima mau tidak mau mereka harus membayar. Disamping itu tidak ada informasi maupun penjelasan resmi tentang penggunaan uang itu kepada wali murid.
Setelah didesak oleh banyak pihak, Yayasan baru memberikan informasi bahwa uang itu dipergunakan untuk pembelian seragama guru. Dalam kasus ini, pihak Yayasan dan sekolah dapat dikategorikan melanggar prinsip transparansi

  • Pelanggaran etika bisnis terhadap akuntabilitas

Sebuah RS Swasta melalui pihak Pengurus mengumumkan kepada seluruh karyawan yang akan mendaftar PNS secara otomotais dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai salah seorang karyawan di RS Swasta itu mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus karena menurut pendapatnya ia diangkat oleh Pengelola dalam hal ini direktur, sehingga segala hak dan kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan Pengurus. Pihak Pengelola sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai kebijakan tersebut.
Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah Sakit

  • Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip pertanggungjawaban

Sebuah perusahaan PJTKI di Jogja melakukan rekrutmen untuk tenaga baby sitter. Dalam pengumuman dan perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji akan mengirimkan calon TKI setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan akan dikirim ke negara-negara tujuan. Bahkan perusahaan tersebut menjanjikan bahwa segala biaya yang dikeluarkan pelamar akan dikembalikan jika mereka tidak jadi berangkat ke negara tujuan. B yang terarik dengan tawaran tersebut langsung mendaftar dan mengeluarkan biaya sebanyak Rp 7 juta untuk ongkos administrasi dan pengurusan visa dan paspor. Namun setelah 2 bulan training, B tak kunjung diberangkatkan, bahkan hingga satu tahun tidak ada kejelasan. Ketika dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu berkilah ada penundaan, begitu seterusnya. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa Perusahaan PJTKI tersebut telah melanggar prinsip pertanggungjawaban dengan mengabaikan hak-hak B sebagai calon TKI yang seharusnya diberangnka ke negara tujuan untuk bekerja.

  • Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kewajaran

Sebuah perusahaan property ternama di Yogjakarta tidak memberikan surat ijin membangun rumah dari developer kepada dua orang konsumennya di kawasan kavling perumahan milik perusahaan tersebut. Konsumen pertama sudah memenuhi kewajibannya membayar harga tanah sesuai kesepakatan dan biaya administrasi lainnya.
Sementara konsumen kedua masih mempunyai kewajiban membayar kelebihan tanah, karena setiap kali akan membayar pihak developer selalu menolak dengan alasan belum ada ijin dari pusat perusahaan (pusatnya di Jakarta). Yang aneh adalah di kawasan kavling itu hanya dua orang ini yang belum mengantongi izin pembangunan rumah, sementara 30 konsumen lainnya sudah diberi izin dan rumah mereka sudah dibangun semuannya. Alasan yang dikemukakan perusahaan itu adalah ingin memberikan pelajaran kepada dua konsumen tadi karena dua orang ini telah memprovokasi konsumen lainnya untuk melakukan penuntutan segera pemberian izin pembangunan rumah. Dari kasus ini perusahaan property tersebut telah melanggar prinsip kewajaran (fairness) karena tidak memenuhi hak-hak stakeholder (konsumen) dengan alasan yang tidak masuk akal.

  • Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran

Sebuah perusahaan pengembang di Sleman membuat kesepakatan dengan sebuah perusahaan kontraktor untuk membangun sebuah perumahan. Sesuai dengan kesepakatan pihak pengembang memberikan spesifikasi bangunan kepada kontraktor. Namun dalam pelaksanaannya, perusahaan kontraktor melakukan penurunan kualitas spesifikasi bangunan tanpa sepengetahuan perusahaan pengembang. Selang beberapa bulan kondisi bangunan sudah mengalami kerusakan serius. Dalam kasus ini pihak perusahaan kontraktor dapat dikatakan telah melanggar prinsip kejujuran karena tidak memenuhi spesifikasi bangunan yang telah disepakati bersama dengan perusahaan pengembang

  • Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip empati

Seorang nasabah, sebut saja X, dari perusahaan pembiayaan terlambat membayar angsuran mobil sesuai tanggal jatuh tempo karena anaknya sakit parah. X sudah memberitahukan kepada pihak perusahaan tentang keterlambatannya membayar angsuran, namun tidak mendapatkan respon dari perusahaan. Beberapa minggu setelah jatuh tempo pihak perusahaan langsung mendatangi X untuk menagih angsuran dan mengancam akan mengambil mobil yang masih diangsur itu. Pihak perusahaan menagih dengan cara yang tidak sopan dan melakukan tekanan psikologis kepada nasabah. Dalam kasus ini kita dapat mengakategorikan pihak perusahaan telah melakukan pelanggaran prinsip empati pada nasabah karena sebenarnya pihak perusahaan dapat memberikan peringatan kepada nasabah itu dengan cara yang bijak dan tepat.